"The way to get started is to quit talking and begin doing" "I hope you enjoy reading in my blog"

Jumat, 10 Februari 2012

Sistem Budaya


Sistem budaya merupakan wujud yang abstark dari kebudayaan. Sistem budaya atau cultural system merupakan ide-ide dan gagasan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat. Gagasan tersebut tidak dalam keadaan lepas satu dari yang lainnya, tetapi selalu berkaitan dan menjadi suatu sistem. Dengan demikian sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan, yang diartikan pula adat-istiadat mencangkup sistem nilai budaya, sistem norma, norma-norma menurut pranata-pranata yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, termasuk norma agama.
            Fungsi sistem budaya adalah menata dan menatapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia. Proses belajar dari sistem budaya ini dilakukan melalui pembudayaan atau institutionalization (pelembagaan). Dalam proses pelembagaan ini, seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-adat, sistem norma dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini dimulai sejak kecil, dimulai dari lingkungan keluarganya, kemudian dengan lingkungan di luar rumah, mula-mula dengan meniru berbagai macam tindakan. Setelah perasaan dan nilai budaya yang memberikan motivasi akan tindakan meniru itu diinternalisasi dalam kepribadiannya, maka tindakannya itu menjadi suatu pola yang mantap, dan norma yang mengatur tindakannya dibudayakan. Tetapi ada juga individu yang dalam proses pembudayaan tersebut yang mengalami deviants, artinya individu yang tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan sistem budaya di lingkungan sosial sekitarnya.
            Menurut Bakker (1984:37) kebudayaan sebagai penciptaan dan perkembangan nilai meliputi segala apa yang ada dalam alam fisik, personal dan sosial, yang disempurnakan untuk realisasi tenaga manusia dan masyarakat. Jelaslah bahwa usaha membudayakan selalu dapat dilanjutkan lebih sempurna lagi dan tak akan terbentur pada suatu batas terakhir. Tetapi jelas pula bahwa bukan jumlah kuantitatif atau mutu kualitatif nilai-nilai tersendiri mengandung kemajuan kebudayaan. Yang menentukan adalah kesatuan, sintesis atau konfigurasi nilai-nilai yang wajar. Unsur kebudayaan hasil penciptaan dan perkembangan nilai tersebut meliputi kebudayaan subyektif dan kebudayaan obyektif.
Ø  Kebudayaan Subjektif
Dipandang dari aspirasi fundamental yang ada pada manusia, nilai-nilai batin dalam kebudayaan subjektif terdapat dalam perkembangan kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dalam hierarki nilai perwujudannya tampak dalam kesehatan badan, penghalusan perasaan, kecerdasan budi bersama dengan kecakapan untuk mengkomunikasikan hasil pemakaian budi kepada lain-lain, serta kerohanian. Kesehatan, gaya indah, kebajikan dan kebijaksanaan merupakan puncak-puncak bakat (ultimatum potetiae) dari badan, rasa, kecekatan, keadilan, kedermawanan, elokuensi dan fungsi-fungsi lain yang diperkembangkan dalam tabiat manusia oleh pengalaman dan pendidikan. Lewat fungsi-fungsi itu manusia menyempurnakan kosmos dan menghumanisasikan dirinya. Keselarasan nilai-nilai subyektif diutamakan oleh humanisme klasik.
Ø  Kebudayaan Objektif
Nilai-nilai imanen dalam kebudayaan subjektif harus menyatakn diri dalam tata lahir sebagai materialisasi dan institusionalisasi. Disana terbentanglah dunia Kebudayaan Objektif yang amat luas dan serba guna, yang dihasilkan oleh usaha raksasa ratusan angkatan sepanjang sejarah. Sedikit demi sedikit dibina, dengan “trial and error”, dengan maju mundur, dengan pinjam meminjam antar kebudayaan. Disana dialoh manusia alam memuncak. Nilai-nilai yang direalisasikan secara batin, sekali di proyeksi secara serupa, merupakan landasan untuk perkembangan batin lebih lanjut dan dengan demikian terus-menerus dalam sarang yang semakin kompleks. Nilai-nilai objektif itu, yang juga disebut hasil unsur-unsur kebudayaan itu dapat disistematisasikan menurut beberapa prinsip pembagian, antara lain: ilmu pengetahuan, teknologi, kesosialan, ekonomi, kesenian dan agama.
Masyarakat Berbudaya
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.
Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinyakonflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.
Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat istiadat
Menurut Paul, mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya. Sementara menurut Young dan Raymond, mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya.
Dalam dunia modern, banyak orang berupaya melakukan mobilitas sosial. Mereka yakin bahwa hal tersebut akan membuat orang menjadi lebih bahagia dan memungkinkan mereka melakukan jenis pekerjaan yang peling cocok bagi diri mereka.
Bila tingkat mobilitas sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial berbeda. Mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Bila tingkat mobilitas sosial rendah, tentu saja kebanyakan orang akan terkukung dalam status nenek moyang mereka. Mereka hidup dalam kelas sosial tertutup.
Mobilitas sosial lebih mudah terjadi pada masyarakat terbuka karena lebih memungkinkan untuk berpindah strata. Sebaliknya, pada masyarakat yang sifatnya tertutup kemungkinan untuk pindah strata lebih sulit. Contohnya, masyarakat feodal atau pada masyarakat yang menganut sistem kasta. 
Pada masyarakat yang menganut sistem kasta, bila seseorang lahir dari kasta yang paling rendah untuk selamanya ia tetap berada pada kasta yang rendah. Dia tidak mungkin dapat pindah ke kasta yang lebih tinggi, meskipun ia memiliki kemampuan atau keahlian. Karena yang menjadi kriteria stratifikasi adalah keturunan. Dengan demikian, tidak terjadi gerak sosial dari strata satu ke strata lain yang lebih tinggi.
Kesadaran Kolektif
Integrasi masyarakat terjadi karena adanya kesepakatan di antara anggota-anggota masyarakat terhadap nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Nilai-nilai kemasyarakatan ini lebih lanjut dinamakan oleh Emile Durkheim dengan kesadaran kolektif (collective consciousness). Kesadaran kolektif ini berada di luar individu atau bersifat eksterior, namun memiliki daya penekan terhadap individu-individu sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain, kesadaran kolektif adalah suatu consensus masyarakat yang mengatur hubungan sosial di antara anggota masyarakat yang bersangkutan.

Kesadaran kolektif tersebut bisa berwujud aturan-aturan moral, aturan-aturan agama, aturan-aturan tentang baik dan buruk, luhur dan mulia, dan sebagainya. Kesadaran kolektif juga merupakan salah satu wujud dari fakta sosial yang berkaitan dengan moralitas bersama. Pemikiran ini muncul berangkat dari meningkatnya pembagian kerja yang berujung dengan terjadinya transformasi kesadaran kolektif. Pada masyarakat bersolidaritas mekanis, kesadaran kolektif ini sangat tinggi, sedangkan pada masyarakat solidaritas organis tidak demikian halnya.

Ritzer, dengan mengutip pandangan Anthony Giddens menyatakan bahwa kesadaran kolektif dalam dua tipe ideal (masyarakat mekanis dan masyarakat organis) tersebut dapat dibedakan ke dalam empat dimensi sosial yaitu volume, intensitas, rigiditas dan konten. Menurut Ritzer, “Volume mengacu kepada jumlah orang yang berada dalam lingkunp jangkauan kesadaran kolektif. Intensitas memperlihatkan seberapa dalam individu merasakan kesadaran kolektif. Rigiditas menunjukkan seberapa jelas kesadaran kolektif itu didefinisikan, dan konten mencakup bentuk kesadaran kolektif pada dua tipe ideal masyarakat tersebut. Pada masyarakat mekanis, kesadaran kolektif mencakup keseluruhan masyarakat beserta segenap anggotanya, kesadaran kolektif diyakini dengan intensitas tinggi.

Kesadaran kolektif pada masyarakat ini sangat rigid dan kontennya berwatak religius. Sebaliknya, kesadaran kolektif dalam masyarakat organis lebih terbatas pada domainnya masing-masing dan di kalangan masyarakat yang berada di wilayah jangkauan kesadaran kolektif itu saja. Intensitas kesadaran kolektif pada masyarakat ini kurang sebagaimana diperlihatkan dalam substitusi restitutif terhadap pelanggaran hukum. Kesadaran kolektif tidak terlalu rigid dan kontennya lebih bercorak moral, yaitu moralitas individualisme.

Secara sederhana kita dapat katakan bahwa pada masyarakat mekanis atau tradisonal, empat dimensi kesadaran kolektifnya yaitu volume yang mencakup seluruh masyarakat serta anggotanya, intensitasnya tinggi, rigiditasnya ekstrim, dan kontennya bercorak religius. Sebaliknya, pada masyarakat organis atau masyarakat modern, empat dimensi kesadaran kolektifnya adalah volume yang hanya terbatas pada domain dan orang-orang yang menjadi cakupan kesadaran kolektif, intensitasnya kurang, rigiditasnya tidak ekstrim, dan kontennya berwatak moral, yaitu moral individualistis.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar