"The way to get started is to quit talking and begin doing" "I hope you enjoy reading in my blog"

Minggu, 12 Februari 2012

Politis Sebagai Koruptor


Tidak dapat kita pungkiri bahwa sebagian besar para pelaku korupsi di tanah air kita tidak lain dan tidak bukan adalah para politisi dengan berlatar belakang warna partai politiknya. Hal ini dapat kita lihat dari maraknya kasus-kasus korupsi yang merasuki ranah legislatif maupun eksekutif. Dalam kekuasaan lagislatif baik di DPR gedung senayan maupun DPRD di berbagai kabupaten/kota dan provinsi secara nasional masih kental beraromakan korupsi yang dilakukan secara jamak oleh para anggota dewan tersebut. Lalu tidak itu saja, dalam kekuasaaan eksekutif yang berpuncak dari Presiden sebagai kepala pemerintahan, lalu di ikuti oleh para pembantunya sebagai Menteri Negara, Gubernur, Bupati/Walikota, juga sarat dengan tindakan korupsi yang semakin merajalela.

Tentu saja tanpa mengurangi keterlibatan di beberapa lembaga peradilan serta lembaga penegak hukum itu sendiri seperti Kejaksaan dan Kepolisian, para politisi yang bernaung baik di lembaga legislatif maupun eksekutif tersebut menempati pos nomor satu sarat dengan perilaku korupsi. Dalam pemberitaan beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa mantan anggota dewan Komisi IX DPR 1999-2004 ditetapkan sebagai tersangka, sebanyak 25 tersangka tersebut pun dipanggil tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semuanya akan diperiksa dalam kaitan kasus dugaan suap pemenangan Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia tahun 2004. Hal inilh yang juga semakin menambah keyakinan masyarakat kita akan saratnya keterlibatan para politisi sebagai pelaku korupsi.

Hal yang sangat mengherankan bahwa sebagian besar para politisi yang terlibat dalam tindakan korupsi baik yang telah mendekam di jeruji besi karena telah divonis sebagai koruptor maupun yang masih dalam proses pemeriksaan dengan status tersangka serta berstatus terdakwa, para politisi tersebut merupakan elit politik dibawah partai politik yang sangat besar dan berkuasa serta juga partai politik yang menamakan dirinya sebagai partai oposisi. Bahkan, tanpa bermaksud merendahkan, partai politik dibawah panji-panji agama sering mengantarkan para politisinya tersebut dalam perilaku korupsi, apakah mereka yang mengatasnamakan agama juga tentunya memiliki etika dan moralitas yang baik pula?

Ada apa dengan para politisi di negeri ini? Bukankah mereka yang lebih bersuara keras nan lantang mengatakan akan “menyuarakan aspirasi rakyat”, mengapa mereka justru yang lebih di depan sebagai garda pengkhianatan terhadap rakyatnya sendiri. Sungguh ironis melihat sepak terjang para politisi di republik ini, terlebih lagi sebelum memangku suatu jabatan atau kekuasaan mereka tentu harus melewati suara rakyat sebagai konstituen. Berbagai janji-janji muluk mereka layangkan untuk menarik simpati rakyat dan juga ada beberapa permainan uang untuk mengelabui rakyat yang telah sedemikian susah. Hal hasil setelah menduduki pos jabatan tersebut justru uang rakyat sendiri yang mereka makan sebagai makanan kotor politisi tersebut.

Biang korupsi para politisi

Dalam tulisan Sigit Pamungkas yang juga dimuat di Harian Kompas 7 Agustus 2008, mengungkapkan bahwa sebenarnya korupsi para politisi bersumber dari tidak terpecahkannya salah satu misteri terbesar kehidupan kepartaian kita, yaitu kelangkaan finansial untuk survavilitas partai. Ada dua kesenjangan dalam keuangan partai (S-2 PLOD UGM, 2007). Pertama, sisi investasi finansial untuk memenuhi kebutuhan partai adalah tidak terbatas. Pada saat bersamaan, partai adalah institusi yang didesain tidak dengan motif mencari laba. Partai adalah institusi nirlaba, tetapi melibatkan investasi tak terhingga. Kedua, ada ketidakseimbangan antara kebutuhan investasi partai dan sumber pembiayaan yang secara normatif diletakkan pada iuran dan sumbangan.

Kedua gap itu menjadi struktur pemaksa terjadinya korupsi yang dilakukan politisi. Politisi dihadapkan kewajiban mengatasi kelangkaan finansial partai agar diri dan partainya tetap bertahan. Jalan pintas yang ditempuh adalah kapitalisasi instrumen yang dimiliki politisi dalam mengendalikan perilaku eksekutif. Instrumen yang dimiliki politisi seperti fungsi penganggaran, pengawasan, dan legislasi ditransaksikan dengan eksekutif maupun pemodal untuk mendapat rente.
Akibatnya, korupsi adalah jalan yang harus ditempuh politisi guna mengatasi kelangkaan finansial partai. Survavilitas partai dalam membiayai aktivitasnya amat bergantung pada sejauh mana politisi mampu mengapitalisasikan instrumen miliknya. Dengan demikian, korupsi tidak lagi bersifat individual, tetapi kolektivitas partai. Boleh jadi, ketika korupsi tidak dilakukan, partai politik tersebut pun akan menjadi mati.

Lebih lanjut lagi diungkapkan oleh staff Pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM tersebut, bahwa selama misteri kepartaian tidak terpecahkan, keberlanjutan korupsi oleh politisi akan terus berlangsung. Pintu korupsi tetap terbuka, berjalan sistematis, dan senantiasa terjadi repetisi korupsi karena menyangkut survavilitas partai. Cepat atau lambat, upaya pemberantasan korupsi yang kini gencar dilakukan akan mendapat perlawanan dari politisi secara sistematis. 
Politisi dan partai akan terus bersiasat dan mempercanggih metode berkorupsi agar terhindar dari jerat hukum. Partai akan senantiasa menjadi pembela dan pelindung politisi korup. Pendekatan hukum akan kembali menemukan jalan buntu saat tidak disertai upaya memecahkan misteri kepartaian. Di sini produktivitas kinerja partai menjadi kata kunci. Partai harus mampu mentransformasi aspirasi dan kepentingan publik menjadi agenda kebijakan. Dengan demikian, partai tidak perlu mendekat kepada rakyat dengan uang, tetapi dengan kebijakan.

Bernuansa Politis

Melihat kenyataan semakin maraknya kasus korupsi yang menjerat para politisi, rakyat pun semakin apatis terhadap pemberantasan korupsi yang tak kunjung usai. Hal ini disebabkan oleh kenyataan pahit karena sebagian besar penentu kebijakan di negeri ini juga dilakukan oleh para politisi itu sendiri. Politisi yang juga sebagai anggota dewan pastilah membuat suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan nada yang bersifat politis, lalu kemudian peraturan tersebut segeran dilakukan oleh pemerintah yang juga banyak dibanjiri oleh para politisi dalam menduduki jabatan sebagai Menteri Negara pasti juga akan membuat kebijakan dengan nuansa politis pula.

Bagaimana jadinya republik ini apabila suatu peraturan dan kebijakan dibuat serta dijalankan dengan maksud politis bukan sebaliknya memberi kebijakan yang pro terhadap rakyat dan pembangunan di negeri ini. Bahkan, apabila kita telisik lebih jauh dengan terlibatnya para politisi dalam kasus suap pemilihan Gubernur BI tersebut, boleh jadi juga beberapa petinggi di beberapa lembaga negara kita akan bernuansa politis karena proses pemilihan mereka untuk menjadi tambuk kekuasaan di beberapa lembaga negara juga melalui seleksi di gedung senayan yang selalu dimotori oleh parta politik tersebut. Sebut saja proses pemilihan Kapolri, Panglima TNI, Ketua KY, Ketua KPK, serta sebagian Hakim Agung dan Hakim Konstitusi mereka tentu menduduki jabatan setelah melalui proses penyaringan oleh anggota-anggota dewan yang juga sebagai politisi. Hal inilah yang semakin melapangkan jalan para politisi untuk melakukan tindakan korupsi dengan berbagai cara karena proses pemilihan sarat kental dengan nuansa politis.

Politisi Tumbuh Subur

Hingga kini pemberantasan koruphttp://www.blogger.com/img/blank.gifsi hanyalah tetap dan sampai kapanpun akan menjadi wacana tanpa ada tindakan yang nyata meskipun pendekar silih berganti dalam tambuk kepemimpinan apabila politisi semakin tumbuh subur di negeri ini. Politisi memang telah meracuni republik ini dengan berbagai tindakan korupsi.

Sejak era reformasi dihembuskan, banyak partai politik yang bermunculan dengan beraneka warna dan mencapai tujuan yang sama yakni menduduki kursi kekuasaan. Dengan semakin banyak dan maraknya partai politik pasca orde baru tersebut, juga secara otomatis banyak melahirkan para politisi dengan berbagai macam cara untuk mengejar kekuasaannya dan kemudian melakukan tindakan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar