Sistem
budaya merupakan wujud yang abstark dari kebudayaan. Sistem budaya atau
cultural system merupakan ide-ide dan gagasan manusia yang hidup bersama dalam
suatu masyarakat. Gagasan tersebut tidak dalam keadaan lepas satu dari yang
lainnya, tetapi selalu berkaitan dan menjadi suatu sistem. Dengan demikian
sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan, yang diartikan pula adat-istiadat
mencangkup sistem nilai budaya, sistem norma, norma-norma menurut pranata-pranata
yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, termasuk norma agama.
Fungsi sistem budaya adalah menata
dan menatapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia. Proses belajar
dari sistem budaya ini dilakukan melalui pembudayaan atau institutionalization
(pelembagaan). Dalam proses pelembagaan ini, seorang individu mempelajari dan
menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-adat, sistem norma dan
peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini dimulai sejak kecil,
dimulai dari lingkungan keluarganya, kemudian dengan lingkungan di luar rumah,
mula-mula dengan meniru berbagai macam tindakan. Setelah perasaan dan nilai
budaya yang memberikan motivasi akan tindakan meniru itu diinternalisasi dalam
kepribadiannya, maka tindakannya itu menjadi suatu pola yang mantap, dan norma
yang mengatur tindakannya dibudayakan. Tetapi ada juga individu yang dalam
proses pembudayaan tersebut yang mengalami deviants, artinya individu yang
tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan sistem budaya di lingkungan sosial
sekitarnya.
Menurut Bakker (1984:37) kebudayaan
sebagai penciptaan dan perkembangan nilai meliputi segala apa yang ada dalam
alam fisik, personal dan sosial, yang disempurnakan untuk realisasi tenaga
manusia dan masyarakat. Jelaslah bahwa usaha membudayakan selalu dapat
dilanjutkan lebih sempurna lagi dan tak akan terbentur pada suatu batas
terakhir. Tetapi jelas pula bahwa bukan jumlah kuantitatif atau mutu kualitatif
nilai-nilai tersendiri mengandung kemajuan kebudayaan. Yang menentukan adalah
kesatuan, sintesis atau konfigurasi nilai-nilai yang wajar. Unsur kebudayaan
hasil penciptaan dan perkembangan nilai tersebut meliputi kebudayaan subyektif
dan kebudayaan obyektif.
Ø Kebudayaan
Subjektif
Dipandang
dari aspirasi fundamental yang ada pada manusia, nilai-nilai batin dalam
kebudayaan subjektif terdapat dalam perkembangan kebenaran, kebajikan dan
keindahan. Dalam hierarki nilai perwujudannya tampak dalam kesehatan badan,
penghalusan perasaan, kecerdasan budi bersama dengan kecakapan untuk
mengkomunikasikan hasil pemakaian budi kepada lain-lain, serta kerohanian.
Kesehatan, gaya indah, kebajikan dan kebijaksanaan merupakan puncak-puncak
bakat (ultimatum potetiae) dari badan, rasa, kecekatan, keadilan, kedermawanan,
elokuensi dan fungsi-fungsi lain yang diperkembangkan dalam tabiat manusia oleh
pengalaman dan pendidikan. Lewat fungsi-fungsi itu manusia menyempurnakan
kosmos dan menghumanisasikan dirinya. Keselarasan nilai-nilai subyektif
diutamakan oleh humanisme klasik.
Ø Kebudayaan
Objektif
Nilai-nilai
imanen dalam kebudayaan subjektif harus menyatakn diri dalam tata lahir sebagai
materialisasi dan institusionalisasi. Disana terbentanglah dunia Kebudayaan
Objektif yang amat luas dan serba guna, yang dihasilkan oleh usaha raksasa
ratusan angkatan sepanjang sejarah. Sedikit demi sedikit dibina, dengan “trial
and error”, dengan maju mundur, dengan pinjam meminjam antar kebudayaan. Disana
dialoh manusia alam memuncak. Nilai-nilai yang direalisasikan secara batin,
sekali di proyeksi secara serupa, merupakan landasan untuk perkembangan batin
lebih lanjut dan dengan demikian terus-menerus dalam sarang yang semakin
kompleks. Nilai-nilai objektif itu, yang juga disebut hasil unsur-unsur
kebudayaan itu dapat disistematisasikan menurut beberapa prinsip pembagian,
antara lain: ilmu pengetahuan, teknologi, kesosialan, ekonomi, kesenian dan
agama.
Masyarakat Berbudaya
Perubahan sosial budaya adalah
sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu
masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi
sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan
hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan.
Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari
perubahan.
Perubahan sosial budaya terjadi
karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir
masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan
baru, terjadinyakonflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana
alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Ada pula beberapa faktor yang
menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan
komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat
masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam
dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru;
rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan
ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.
Perubahan sosial budaya adalah
sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu
masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi
sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan
hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan.
Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari
perubahan.
Perubahan sosial budaya terjadi
karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir
masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan
baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana
alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Ada pula beberapa faktor yang
menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan
komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat
masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam
dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru;
rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan;
hambatan ideologis; dan pengaruh adat istiadat
Menurut Paul, mobilitas sosial adalah
suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau
gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya. Sementara menurut
Young dan Raymond, mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial
yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial.
Struktur sosial mencakup sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan
hubungan antara individu dengan kelompoknya.
Dalam dunia modern, banyak orang
berupaya melakukan mobilitas sosial. Mereka yakin bahwa hal tersebut akan
membuat orang menjadi lebih bahagia dan memungkinkan mereka melakukan jenis
pekerjaan yang peling cocok bagi diri mereka.
Bila tingkat mobilitas sosial
tinggi, meskipun latar belakang sosial berbeda. Mereka tetap dapat merasa
mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Bila
tingkat mobilitas sosial rendah, tentu saja kebanyakan orang akan terkukung
dalam status nenek moyang mereka. Mereka hidup dalam kelas sosial tertutup.
Mobilitas sosial lebih mudah terjadi
pada masyarakat terbuka karena lebih memungkinkan untuk berpindah strata.
Sebaliknya, pada masyarakat yang sifatnya tertutup kemungkinan untuk pindah
strata lebih sulit. Contohnya, masyarakat feodal atau pada masyarakat yang
menganut sistem kasta.
Pada masyarakat yang menganut sistem
kasta, bila seseorang lahir dari kasta yang paling rendah untuk selamanya ia
tetap berada pada kasta yang rendah. Dia tidak mungkin dapat pindah ke kasta
yang lebih tinggi, meskipun ia memiliki kemampuan atau keahlian. Karena yang
menjadi kriteria stratifikasi adalah keturunan. Dengan demikian, tidak terjadi
gerak sosial dari strata satu ke strata lain yang lebih tinggi.
Kesadaran
Kolektif
Integrasi masyarakat terjadi karena adanya kesepakatan
di antara anggota-anggota masyarakat terhadap nilai-nilai kemasyarakatan
tertentu. Nilai-nilai kemasyarakatan ini lebih lanjut dinamakan oleh Emile
Durkheim dengan kesadaran kolektif (collective consciousness). Kesadaran
kolektif ini berada di luar individu atau bersifat eksterior, namun memiliki
daya penekan terhadap individu-individu sebagai anggota masyarakat. Dengan kata
lain, kesadaran kolektif adalah suatu consensus masyarakat yang mengatur hubungan
sosial di antara anggota masyarakat yang bersangkutan.
Kesadaran kolektif tersebut bisa berwujud
aturan-aturan moral, aturan-aturan agama, aturan-aturan tentang baik dan buruk,
luhur dan mulia, dan sebagainya. Kesadaran kolektif juga merupakan salah satu
wujud dari fakta sosial yang berkaitan dengan moralitas bersama. Pemikiran ini
muncul berangkat dari meningkatnya pembagian kerja yang berujung dengan
terjadinya transformasi kesadaran kolektif. Pada masyarakat bersolidaritas
mekanis, kesadaran kolektif ini sangat tinggi, sedangkan pada masyarakat
solidaritas organis tidak demikian halnya.
Ritzer, dengan mengutip pandangan Anthony Giddens
menyatakan bahwa kesadaran kolektif dalam dua tipe ideal (masyarakat mekanis
dan masyarakat organis) tersebut dapat dibedakan ke dalam empat dimensi sosial
yaitu volume, intensitas, rigiditas dan konten. Menurut Ritzer, “Volume mengacu
kepada jumlah orang yang berada dalam lingkunp jangkauan kesadaran kolektif.
Intensitas memperlihatkan seberapa dalam individu merasakan kesadaran kolektif.
Rigiditas menunjukkan seberapa jelas kesadaran kolektif itu didefinisikan, dan
konten mencakup bentuk kesadaran kolektif pada dua tipe ideal masyarakat
tersebut. Pada masyarakat mekanis, kesadaran kolektif mencakup keseluruhan
masyarakat beserta segenap anggotanya, kesadaran kolektif diyakini dengan
intensitas tinggi.
Kesadaran kolektif pada masyarakat ini sangat rigid
dan kontennya berwatak religius. Sebaliknya, kesadaran kolektif dalam
masyarakat organis lebih terbatas pada domainnya masing-masing dan di kalangan
masyarakat yang berada di wilayah jangkauan kesadaran kolektif itu saja.
Intensitas kesadaran kolektif pada masyarakat ini kurang sebagaimana
diperlihatkan dalam substitusi restitutif terhadap pelanggaran hukum. Kesadaran
kolektif tidak terlalu rigid dan kontennya lebih bercorak moral, yaitu
moralitas individualisme.
Secara
sederhana kita dapat katakan bahwa pada masyarakat mekanis atau tradisonal,
empat dimensi kesadaran kolektifnya yaitu volume yang mencakup seluruh masyarakat
serta anggotanya, intensitasnya tinggi, rigiditasnya ekstrim, dan kontennya
bercorak religius. Sebaliknya, pada masyarakat organis atau masyarakat modern,
empat dimensi kesadaran kolektifnya adalah volume yang hanya terbatas pada
domain dan orang-orang yang menjadi cakupan kesadaran kolektif, intensitasnya
kurang, rigiditasnya tidak ekstrim, dan kontennya berwatak moral, yaitu moral
individualistis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar